Thursday, January 31, 2008

Dari NU untuk Indonesia

Pertanyaan besar yang selalu mengiringi kita saat membincang Nahdlatul Ulama (NU) dan Indonesia adalah, peran apa yang mesti dimainkan ormas terbesar ini dalam membangun bangsa.? Pertanyaan demikian muncul lantaran dua alasan. Pertama, negara ini dalam semua hal, telah kehilangan panutan dan pegangan. Tidak ada satu pun tokoh, apalagi institusi yang bisa dijadikan rujukan dalam bertindak. Semua komponen bangsa bertindak atas naluri dan kepentingannya sendiri-sendiri. Tidak ada lagi yang peduli dengan nasib bangsa ini, apakah akan hancur atau tidak.

Kedua, organisasi ini di samping memiliki pengikut paling besar, juga memiliki paham keagamaan dan kebangsaan yang sangat luwes, progresif, menghargai keragaman, dan apresiatif terhadap khazanah kebudayaan lokal. Pandangan semacam ini telah terbukti sangat cocok dengan karakter Indonesia yang besar dan plural.

Namun, dapatkah NU memainkan dua hal ini sebagai ‘senjata’ untuk merubah bangsa, menjadikan dirinya sebagai lokomotif menuju bangsa yang berkeadilan, sejahtera dan berkeadaban.? Di satu sisi, NU dengan segala pernak-perniknya, adalah lautan masalah. Apa yang sekarang ini dialami NU beserta seluruh warganya, mulai dari keterbelakangan pendidikannya, kemelaratan ekonominya, sampai dengan komunikasinya dengan institusi lain, semuanya adalah lautan masalah.

Sementara di sisi lainnya, para pengurus yang telah dipercaya untuk mengelola organisasi, mengarahkan warganya, dan membuat jejaring dalam berkomunikasi, menurut hemat penulis justru sama sekali tidak memiliki motivasi untuk menyelesaikan lautan masalah tersebut.

Semua ini muncul lantaran ekspektasi dan harapan orang terhadap NU, sangat berbeda dengan kenyataan yang ada dalam NU itu sendiri. Motivasi mereka menjadi pengurus itu lebih didominasi oleh kepentingan politik praktis ketimbang motivasi untuk berkhidmat, membesarkan organisasi dan melayani umat. Dalam hitungannya, NU dengan massanya yang sangat besar, adalah kendaraan politik yang paling cepat dan nyaman untuk mewujudkan impian politik.

Oleh karena itu. Pertama, Organisasi ini harus bisa membentengi dirinya sendiri agar tidak lagi dimanfaatkan oleh orang-orang yang memiliki nafsu politik. NU harus disterilkan dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab.

Kedua, mengembalikan NU ke dalam ruh-nya semula, sebagaimana yang tercantum dalam Qonun Asasi pendirian organisasi, bahwa NU adalah jam’iyah diniyah ijtima’iyah, organisasi sosial keagamaan. Organisasi ini harus ditarik kembali ke dalam rel-nya untuk melakukan kerja-kerja sosial, mendampingi dan memberdayakan masyarakat yang hak-haknya dikebiri para penguasa. Atau dengan bahasa lain, mendampingi masyarakat agar ketaatannya memenuhi kewajibannya, memperoleh balasan yang setimpal dengan hak yang mesti didapatkannya dari negara. Hak atas pendidikan, kesehatan, keamanan, kesejahteraan dan lainnya. NU harus memandaikan seluruh warganya agar tidak terus dibodohi.

Ketiga, merumuskan kembali prioritas yang harus dikerjakan. Jika NU adalah lautan masalah, sama dengan kondisi bangsa yang juga lautan masalah, maka memprioritaskan isu yang harus dikawal dan dikerjakan secara serius adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Misalnya, jika benar bahwa kemelaratan yang dialami warga nahdliyin, atau warga negara secara keseluruhan adalah karena uang negara dikorupsi sampai tak terhingga, maka tiada cara lain kecuali NU ikut terjun langsung menangani masalah tersebut.

Salam,

Muhtadin AR

Monday, June 25, 2007

NU dan Semangat Kebangsaan


NU dan Semangat Kebangsaan
Oleh Muhtadin AR

Saat tulisan ini saya buat (tanggal 31 Januari 2007), Nahdlatul Ulama (NU) memasuki usianya yang ke-81, sebuah usia yang sangat matang untuk sebuah organisasi. Ada banyak sekali cerita yang mengiringi perjalanannya, suka maupun duka. Namun dari semua cerita itu, satu hal terus melekat (dengan segala pro-kontranya) adalah kesetiaan organisasi ini dalam mengawal perjalanan bangsa.
Kita masih ingat bagaimana organisasi ini memutuskan sikap untuk menyelamatkan negara dari ancaman penjajah dengan menggelorakan Resolusi Jihad. Juga saat Presiden Soekarno mau didelegitimasi DI TII pimpinan Kartosuwiryo. Organisasi ini dengan cepat memberikan gelar kepada Soekarno waliyyul amri dloruri bi al syaukah agar anak-anak Indonesia tidak menjadi anak haram. Juga saat PKI ingin mengganti ideologi negara, NU dengan gagah berani berada di garda depan menentang keinginan PKI tersebut, meskipun nyawa taruhannya.
Namun peran apa yang saat ini mesti dimainkan ormas terbesar ini dalam membangun bangsa.? Pertanyaan demikian muncul lantaran dua alasan. Pertama, negara ini dalam semua hal, telah kehilangan panutan dan pegangan. Tidak ada satu pun tokoh, apalagi institusi yang bisa dijadikan rujukan dalam bertindak. Semua komponen bangsa bertindak atas naluri dan kepentingannya sendiri-sendiri. Tidak ada lagi yang peduli dengan nasib bangsa ini, apakah akan hancur atau tidak.
Kedua, organisasi ini di samping memiliki pengikut paling besar, juga memiliki paham keagamaan dan kebangsaan yang sangat luwes, progresif, menghargai keragaman, dan apresiatif terhadap khazanah kebudayaan lokal. Pandangan semacam ini telah terbukti sangat cocok dengan karakter Indonesia yang besar dan plural.
Namun, dapatkah NU memainkan dua hal ini sebagai ‘senjata’ untuk merubah bangsa, menjadikan dirinya sebagai lokomotif menuju bangsa yang berkeadilan, sejahtera dan berkeadaban.? Sulit!! (ya, sulit!!!) Di satu sisi, NU dengan segala pernak-perniknya, adalah lautan masalah. Apa yang sekarang ini dialami NU beserta seluruh warganya, mulai dari keterbelakangan pendidikannya, kemelaratan ekonominya, sampai dengan komunikasinya dengan institusi lain, semuanya adalah lautan masalah.
Sementara di sisi lainnya, para pengurus yang telah dipercaya untuk mengelola organisasi, mengarahkan warganya, dan membuat jejaring dalam berkomunikasi, menurut hemat penulis justru sama sekali tidak memiliki motivasi untuk menyelesaikan lautan masalah tersebut.
Semua ini muncul lantaran ekspektasi dan harapan orang terhadap NU, sangat berbeda dengan kenyataan yang ada dalam NU itu sendiri. Motivasi mereka menjadi pengurus itu lebih didominasi oleh kepentingan politik praktis ketimbang motivasi untuk berkhidmat, membesarkan organisasi dan melayani umat. Dalam hitungannya, NU dengan massanya yang sangat besar, adalah kendaraan politik yang paling cepat dan nyaman untuk mewujudkan impian politik.
Kenyataan demikian bisa dilihat dari seringnya organisasi ini kehilangan isu-isu besar. Padahal, isu-isu itulah yang terkait langsung dengan nasib warganya. Misalnya tentang ihwal kebijakan pemerintah yang menaikkan BBM hingga 100 persen lebih, juga impor beras dari Vietnam beberapa waktu lalu. Mestinya organisasi ini berani bersuara lantang menolak kedua kebijakan tersebut karena di samping mengancam perekonomian nasional, juga akan berdampak langsung bagi kehidupan rakyat kecil, yang mayoritas adalah warga NU.
Namun apa yang kita saksikan bersama.? Jangankan menolak, organisasi ini bahkan diam seribu bahasa seakan setuju dengan kebijakan tersebut. Parahnya lagi, organisasi ini bahkan tidak pernah memberikan ‘sekedar’ teguran pada para pengelola negara yang ‘dholim’ ini. Membiarkan masyarakat tetap diperlakukan negara secara semena-mena seperti sekarang.
Pun demikian, bukan berarti organisasi ini tidak bisa memainkan peran penting dalam keikutsertaannya membangun bangsa. Masih ada banyak celah dan kesempatan yang bisa dimainkan organisasi ini. Meskipun itu hanya bisa dilakukan dengan cara-cara yang sangat sulit. Pertama, Organisasi ini harus bisa membentengi dirinya sendiri agar tidak lagi dimanfaatkan oleh orang-orang yang memiliki nafsu politik. NU harus disterilkan dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Caranya, orang-orang yang pernah memiliki dosa politik seperti kiai Hasyim Muzadi (Ketua PBNU), dan para pengurus yang pernah mencalonkan diri menjadi Bupati, Wakil Bupati, atau jabatan politik lainnya dan kemudian tidak terpilih, atau sedang berkeinginan mengejar jabatan politik tertentu, sebelum masanya kompetisi dimulai dan untuk seterusnya, harus mengundurkan diri dari kepengurusan NU. Bukan sekedar non aktif, kemudian setelah kompetisi selesai kembali lagi ke NU.
Ini penting sebagai pertanggungjawaban moral pribadinya, dan juga agar NU secara organisasi tidak terus-menerus memikul beban politik akibat kekalahannya. Sekarang ini, banyak sekali orang-orang di NU yang menjalani kehidupan organisasi seperti yang dilakukan kiai Hasyim, kembali ke NU setelah kalah dalam kompetisi, dan sama sekali tidak merasa bersalah dengan apa yang telah dilakukannya.
Kedua, mengembalikan NU ke dalam ruh-nya semula, sebagaimana yang tercantum dalam Qonun Asasi pendirian organisasi, bahwa NU adalah jam’iyah diniyah ijtima’iyah, organisasi sosial keagamaan. Organisasi ini harus ditarik kembali ke dalam rel-nya untuk melakukan kerja-kerja sosial, mendampingi dan memberdayakan masyarakat yang hak-haknya dikebiri para penguasa. Atau dengan bahasa lain, mendampingi masyarakat agar ketaatannya memenuhi kewajibannya, memperoleh balasan yang setimpal dengan hak yang mesti didapatkannya dari negara. Hak atas pendidikan, kesehatan, keamanan, kesejahteraan dan lainnya. NU harus memandaikan seluruh warganya agar tidak terus dibodohi.
Ketiga, merumuskan kembali prioritas yang harus dikerjakan. Jika NU adalah lautan masalah, sama dengan kondisi bangsa yang juga lautan masalah, maka memprioritaskan isu yang harus dikawal dan dikerjakan secara serius adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Misalnya, jika benar bahwa kemelaratan yang dialami warga nahdliyin, atau warga negara secara keseluruhan adalah karena uang negara dikorupsi sampai tak terhingga, maka tiada cara lain kecuali NU ikut terjun langsung menangani masalah tersebut.
Memang sekarang ini PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) telah memiliki agenda (lebih tepatnya kegiatan) pemberantasan korupsi. Tetapi menurut hemat penulis, kegiatan itu masih sebatas ‘wacana’, masih sebatas pemberantasan di atas mimbar-mimbar seminar. Mestinya, jika NU serius ingin membantu bangsa memerangi korupsi, kegiatannya bukan hanya di panggung-panggung seminar, tetapi lebih fokus pada tindakan yang lebih konkrit. Misalnya dengan melakukan bedah APBD (Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah), bahkan kalau perlu APBN, apakah pembuatan dan penetapan APBD dan APBN itu memihak masyarakat atau tidak. Apakah pelaksanaan anggaran itu ada kebocorannya atau tidak.
Tapi, semuanya lagi-lagi kembali kepada para pengelolanya itu sendiri. Jika motivasinya masuk ke NU hanyalah untuk menjadikan organisasi ini sebagai ‘halte’ pemberhentian bus, menunggu bus (tawaran untuk menduduki jabatan politik, menjadi anggota DPR atau menteri, atau pejabat eselon) baru dan lebih bagus, lalu halte akan ditinggalkan begitu saja, maka kehancuran organisasi hanyalah menunggu waktu. Secara perlahan tapi pasti, warga nahdliyin akan berbondong-bondong meninggalkan NU, atau tidak lagi merasa memiliki NU, karena organisasi yang menaunginya tidak pernah lagi memperhatikan atau peduli lagi dengan nasibnya.
Dan memasuki usinya yang ke-81 (31 Januari 1926 – 31 Januari 2007) ini, NU dihadapakan pada dua pilihan yang sangat berat, membiarkan keadaan organisasi tetap berlangsung seperti sekarang, atau memperbaikinya. Pilihan pertama jelas akan membawa organisasi pada jurang kehancuran. Ditinggalkan umat karena tidak memberikan manfaat apa-apa. Sementara pilihan kedua sebenarnya bisa menyelamatkan organisasi dan membawa kemaslahatan.
Problemnya, seberapa banyak dari para pengurus NU yang berkeinginan untuk merubah keadaan demikian.? Menjadikan NU kembali pada real yang sebenarnya sebagai jam’iyah diniyah ijtima’iyah (organisasi sosial keagamaan). Ini penting karena semenjak NU membidani lahirnya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) pada 1998, ditambah majunya dan kalahnya Hasyim Muzadi menjadi cawapres mendampingi Megawati pada pemilu 2004 kemarin, perjalanan jam’iyah ini seakan limbung, para pengurusnya lebih peka dengan isu-isu politik ketimbang isu yang berkaitan langsung dengan problem riil masyarakat banyak.
Lalu apa lagi yang bisa kita banggakan dari NU jika keadaannya masih tetap seperti sekarang? Masihkah kita akan menepuk dada bahwa NU adalah sumber moral? Di mana kontribusi NU dalam usaha pemberdayaan umat? Masihkah kita bangga dengan jumlah pengikut sangat besar tetapi tidak memberikan kontribusi apa-apa dalam membangun bangsa karena NU hanya diisi oleh orang-orang yang oportunis.?
Mengutip ungkapan Masdar F. Mas’udi (2005), NU harus bisa mendefinisikan dirinya, bahwa kemajuan bangsa hanya bisa terjadi jika NU bisa menyelesaikan problem yang dihadapi warganya sendiri. Karena ketika NU bisa menyelesaikan problem-problem yang sedang dihadapi para warganya, dan kemudian mereka menjadi maju, maka secara otomatis bangsa ini juga akan ikut bergerak maju. Hal ini karena 40 persen pemilih di Indonesia (menurut survey LSI Juli 2004) adalah nahdliyin. Selamat ulang tahun. Semoga keberadaanmu semakin bisa dirasakan banyak orang. [ ]

*) pendapat pribadi

Tuesday, June 19, 2007

Sejarah NU [02]

Latar belakang internasional


Pada Februari 1924, pemerintahan Kemalis Republik Turki menghapuskan jabatan Khalifah (khilafah). Hal ini memberikan dorongan kepada pembicaraan tentang teori politik Islam dan upaya-upaya untuk membangun institusi-institusi pan-Islami yang baru.
Para penguasa Daulah Utsmaniyah di Istanbul sudah sejak abad ke-19 menyandang gelar sultan dan khalifah; gelar khalifah menunjukkan klaim mereka sebagai pengganti Nabi dan karena itu merupakan kewenangan tertinggi atas seluruh dunia muslim. Pada akhir abad ke-19, klaim ini, walaupun meragukan jika ditinjau berdasarkan fakta-fakta sejarah, diakui oleh kebanyakan umat Islam di Asia Selatan dan Tenggara maupun Timur Tengah.


Daulah Utsmaniyah sudah dihapuskan setahun sebelumnya, dan khalifahnya yang terakhir, setelah semua kekuatannya dilucuti, dalam praktiknya tidak lebih dari figur yang tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun juga, penghapusan khilafah menyebabkan banyak masyarakat muslim, terutama di daerah jajahan Inggris dan Belanda, merasa terpukul dan kehilangan orientasi. Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa masyarakat-masyarakat Muslim yang terjajahlah yang merasakan kebutuhan akan kepemimpinan politik yang independen—sekalipun hanya bersifat simbolik—semacam itu. Kaum Muslim India berkampanye dalam rangka pemulihan kembali Daulah Utsmaniyah, dan beberapa calon menunjukkan keinginan menyandang gelar khalifah.


Salah seorang calon seriusnya adalah penguasa Mekkah, Syarif Husein (yang menguasai kota-kota suci Islam setelah runtuhnya Daulah Utsmaniyah pada 1916). Dia membentuk semacam dewan penasehat khalifah, termasuk di antaranya dua orang Asia Tenggara yang bermukim di Mekkah, dan mengadakan sebuah kongres haji (mu’tamar al-hajj) di Mekkah pada Juli 1924, dengan harapan mendapatkan dukungan internasional bagi klaimnya atas gelar khalifah. Kongres ini adalah yang pertama dari serangkaian kongres Islam internasional yang diselenggarakan pada 1920-an.
Para pesertanya gagal mencapai kata sepakat untuk memberikan dukungan yang diharapkan Syarif Husein. Beberapa bulan kemudian (Oktober 1924), musuh besar politik Syarif, Abdul Aziz Ibnu Sa’ud, menyerbu Makkah dan membuyarkan keinginan-keinginannya. Pada akhir tahun berikutnya, seluruh Hijaz (yakni, bagian sebelah barat semenanjung Arab), termasuk pelabuhan penting Jeddah, berada di tangan Sa’ud, sementara Husein—yang sudah melarikan diri ke luar negeri—tak punya kekuasaan sama sekali.


Pada waktu itu, sedang dilakukan persiapan-persiapan penyelenggaraan Kongres Khilafat yang akan diadakan di Kairo pada Maret 1925. Inisiatif penyelenggaraannya berasal dari para ulama Al-Azhar, yang didorong oleh Raja Mesir, Fu’ad, calon lain untuk kursi khalifah. Pemikir pembaru terkemuka, Rasyid Ridha, salah seorang penyelenggaranya, sudah mengirim undangan kepada Sarekat Islam dan Muhammadiyah, organisasi penting yang ada di
Indonesia saat itu. Namun kesulitan-kesulitan internal di Mesir mengganggu persiapan kongres dan menyebabkan kongres itu harus ditunda sampai Mei 1926.


Dalam pandangan Ibnu Sa’ud, persiapan Kongres Kairo, dengan kemungkinan terpilihnya Raja Fu’ad sebagai khalifah baru, merupakan ancaman atas posisi yang baru dimenangkannya di Hijaz. Karena itu, dia menyelenggarakan kongres tandingan di Mekkah selama Juni-Juli 1926, berpura-pura menyelenggarakan pembicaraan tentang haji tetapi dalam kenyataannya berusaha memperoleh legitimasi bagi kekuasaannya atas Hijaz. Kedua kongres yang hampir bersamaan itu menunjukkan adanya persaingan yang tidak terlalu tersembunyi untuk meraih kedudukan sebagai pemimpin seluruh umat Islam. Kedua panitia kongres tersebut dengan harap-harap cemas melakukan pendekatan agar seluruh dunia Islam bersedia ikut serta.


Tahun 1920-an juga merupakan rentang waktu di mana di
Indonesia pun diadakan kongres-kongres umat Islam. Di tahun-tahun 1922-1926, para aktifis muslim dari berbagai organisasi dan perhimpunan mengadakan serangkaian kongres bersama (yang disebut Kongres Al-Islam) untuk membicarakan berbagai masalah penting yang menjadi keprihatinan bersama. Semua aliran Islam Indonesia terwakili dalam kongres-kongres ini, walaupun wakil kaum modernis terlalu banyak.


Kongres Al-Islam ketiga, yang diselenggarakan Desember 1924, didominasi pembicaraan mengenai khilafah, dan para pesertanya memutuskan untuk mengirimkan delegasi yang mewakili Sarekat Islam, Muhammadiyah dan kaum tradisionalis ke Kongres Kairo. Karena terjadi penundaan di Mesir, delegasi ini tidak jadi berangkat. Menjelang Kongres Al-Islam keempat, Agustus 1925, datang pula undangan untuk menghadiri Kongres Mekkah. Masalah penentuan pilihan antara Kairo dan Makkah, dan masalah sikap yang diambil terhadap rezim Sa’udi yang baru berkuasa di Mekkah, menimbulkan perselisihan pendapat antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah dan menyebabkan keretakan hubungan di antara mereka dan kaum tradisionalis yang terus meluas dan akhirnya menimbulkan perpecahan.


Tidak satupun dari kongres tersebut yang secara jelas berhubungan dengan Islam tradisional. Kita telah menyaksikan bahwa pembaru terkenal, Rasyid Ridha, adalah salah seorang penyelenggara Kongres di Kairo (walaupun kemudian dia memutuskan untuk datang di Kongres Mekkah). Hal ini bukannya tidak membuat kaum tradisionalis
Indonesia merasa khawatir. Bagaimanaun juga, Ibnu Sa’ud dan pengikutnya adalah kaum Wahabi, pengikut sekte puritan yang paling dogmatis dalam Islam. Kelompok Wahabi terkenal dengan sikap kerasnya menentang segala sesuatu yang bernada pemujaan kepada wali dan pemujaan kepada orang yang sudah meninggal. Selama menduduki kota Mekkah beberapa waktu sebelumnya, pada awal abad ke-20, kaum Wahabi banyak menghancurkan banyak makam di dalam dan di sekitar kota tersebut dan memberangus berbagai praktik keagamaan populer. Bagi kaum Muslim tradisionalis Indonesia, yang sangat terikat pada praktik-praktik keagamaan yang dikutuk kaum Wahabi ini, penaklukan atas Mekkah tersebut merupakan peristiwa yang sangat mencemaskan.


Muhammadiyah sejak awal nampak lebih cenderung ke Kongres Kairo, mungkin karena keterlibatan Rasyid Ridha di dalamnya. Secara doktrinal, Muhammadiyah lebih dekat kepada pembaru Mesir daripada kaum puritan Wahabi. Namun, pemimpin Sarekat Islam, Tjokroaminoto, keberatan terhadap peranan raja Fu’ad dalam kongres ini, yang dia curigai sebagai siasat tersembunyi Inggris untuk menguasai dunia Islam. Dia menegaskan bahwa umat Islam
Indonesia, demi alasan politik, hendaknya memilih Kongres Mekkah yang diadakan Ibnu Sa’ud. Kaum tradisionalis juga memilih Kongres Mekkah, walaupun dengan alasan yang berbeda: kedudukan Hijaz merupakan masalah yang lebih penting dari pada semua permasalahan khilafah.


Kaum tradisionalis
Indonesia menghendaki agar utusan Indonesia ke kongres Mekkah meminta jaminan dari Ibnu Sa’ud bahwa dia akan menghormati madzhab-madzhab fikih ortodoks dan membolehkan berbagai praktik keagamaan tradisional. Ini adalah masalah yang paling penting bagi mereka, karena Mekkah—di mana terdapat komunitas pemukim Indonesia dalam jumlah besar—sejak lama telah menjadi pusat ilmu tradisional, di mana orang-orang yang kemudian menjadi Kiai biasanya menghabiskan beberapa tahun untuk menuntut ilmu di sana. Akan merupakan pukulan berat bagi pendidikan tradisional di seluruh dunia Islam jika fikih Syafi’i dilarang di Mekkah. Demikian juga, pelarangan terhadap tarekat dan ziarah ke banyak makam orang suci di dalam dan sekitar Mekkah akan menghilangkan kesempatan kaum muslim tradisional seluruh dunia untuk memperoleh pengalaman-pengalaman keagamaan yang penting.


Tidak mengherankan, kaum pembaru tidak bersedia meminta kepada Sa’ud agar melindungi praktik-praktik tradisional yang tidak mereka setujui. Tentu saja, hal ini semakin memperburuk ketegangan antara kaum muslim tradisionalis dan pembaru di Indonesia. Kongres itu pun berakhir tanpa ada keputusan yang jelas. Setengah tahun kemudian, Februari 1926, Kogres Al-Islam kelima diadakan untuk memilih siapa yang akan menjadi utusan ke Kongres Mekkah. Pada saat itu, tentu saja, kaum tradisionalis tidak mendapat kesempatan. Hanya dua orang utusan yang ditunjuk, Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansoer (Muhammadiyah). Di luar utusan dari Kongres Al-Islam, kaum pembaru dari Sumatera Barat mengirimkan dua utusannya ke Kongres Kairo, yakni pembaru terkenal Abdul Karim Amrullah (alias Haji Rasul, ayah Hamka) dan Abdullah Ahmad.

Namun, pada saat itu kaum tradisionalis sudah memutuskan jika Kongres Al-Islam tidak mau menekan Ibnu Sa’ud, mereka harus berusaha melakukannya sendiri. Kiai Wahab, yang merupakan juru bicara kaum tradisionalis paling vokal pada Kongres Al-Islam, mendorong para Kiai terkemuka di Jawa Timur agar mengirimkan utusan sendiri ke Mekkah untuk membicarakan masalah madzhab dengan Ibnu Sa’ud. Untuk tujuan ini, mereka membentuk sebuah komite Komite Hijaz, yang bertemu di rumahnya di Surabaya pada 31 Januari 1926 untuk menentukan siapa yang akan diutus. Untuk lebih memperkuat kesan pihak luar, komite ini memutuskan mengubah diri menjadi sebuah organisasi, dan menggunakan nama Nahdlatoel ‘Oelama

Friday, June 1, 2007

Kalam Cinta dari Tuhan


Kalam Cinta dari Tuhan

Sebuah novel penyegar semangat, dengan latar dunia sekitar kampus. Pembaca akan digiring pada sebuah perjalanan mencari makna dalam hidup. Menjalani hidup atas bimbingan Tuhan.

Thursday, May 31, 2007

NU (Nahdatul Ulama)

About NU.
Nahdatul Ulama is a conservative Sunni Islam group in Indonesia. Its traditionalist nature is evident in the name Ulama, referring to the scholar-preachers of Islam, trained in Qur'anic studies, including the interpretation of the religious laws contained therein. Despite its traditionalist nature, its chairman Hasyim Muzadi opposes the establishment of Indonesia as a religious (Islamic) country, and calls for greater cooperation and understanding between all the religious groups in Indonesia.
NU was established on 31 January 1926, around the same time that the reformist Muhammadiyah was established. Its first president was Hasyim Asy'ari, who was the most respected Ulama in Indonesia at the time. Abdurrahman Wahid, the grandson of NU founder Hasyim Asy'ari, inherited the leadership from his father, and was later elected President of Indonesia in 1999.
NU is also one of the largest independent Islamic organizations in the world. Some estimations of their membership range as high as 30 million, although it is hard to account for this number. NU acts as a large charitable body helping to fill in many of the shortcomings of the Indonesian government in society; it funds schools, hospitals, and organizes communities or "kampungs" into more coherent groups in order to help combat poverty. Despite its conservative nature, NU is strongly opposed to the radical Islamic groups which have been undertaking attacks against Western and Christian symbols for the last few years in Indonesia.
www.en.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama

Jagad NU

Welcome to Jagad NU blog. You will get anything about NU here.